Biasanya
para pria dalam masyarakat Yunani Kuno menikah saat memasuki usia 30 tahunan,
tidak demikian dengan pria Mesir Kuno. Mereka menikah saat usia masih muda
sekitar 20 tahunan, sedangkan perempuan Mesir kuno pada usia yang lebih muda,
sekitar 15 tahunan. Perempuan Mesir Kuno akan dianggap telah menikah apabila ia
meindahkan barang-barang miliknya dari kediaman orang tuanya ke rumah seorang
pria yang belum menikah. Demikian pula si perempuan juga ikut tinggal bersama
pria itu. Kemudian perayaan upacara pernikahan akan dirayakan dengan meriah,
karena masyarakat Mesir Kuno menyukai pesta.
Pria
Yunani, terutama Athena akan menunda pernikahan selama mungkin, karena mereka
tidak begitu mencintai perempuan dan ingin lepas dari tanggung jawab dalam
kehidupan kemasyarakatan yang menginginkan akan keturunan atau ahli waris.
Sementara pria Roma bersedia menikah meskipun tidak mencintai pengantin
perempuannya. Sementara pria mesir beranggapan bahwa menikah karena cinta
merupakan hal yang penting. Keromatisan pria mesir ini dibuktikan dengan
membuat puisi untuk kekasihnya. Bagi mereka mereka terlebih dahulu harus jatuh
cinta baru memutuskan untuk menikah.
Perempuan
Yunani dan Romawi memerlukan persetujuan wali mereka untuk menikah. Demikian
pula apabila ada seorang budak yang akan menikah, maka terlebih dahulu ia harus
mendapatkan pembebasan dari majikannya. Meskipun pernikahan harus dilandasi
oleh cinta, tetapi juga diperlukan izin dari orang tua. Pihak orang tua
perempuan tidak akan mengijinkan anaknya untuk menikah dengan “pengembala
babi”, sebuah istilah untuk menggambarkan masyarakat berstatus sosial rendah.
Apabila orang tua sudah memiliki calon, maka tidak jarang mereka akan
menikahkan anak gadisnya yang masih di bawah umur.
Jika
ada seorang pria dan perempuan yang dianggap telah memiliki usia matang tetapi
belum menikah dan tinggal bersama sedangkan hubungan darah mereka sepupu maka
mereka dianggap telah menikah tanpa perlu izin hukum. Negara memang tidak
terlibat dalam urusan pernikahan warganya, demikian pula dengan perceraian. Proses
perceraian dapat terjadi apabila salah satu pihak yang memulai dengan alasan
rusaknya hubungan pernikahan. Meskipun demikian perjanjian atau surat
perceraian memang ada. Seorang perempuan yang pernah bercerai harus menunjukkan
dokumen tersebut ke calon suami barunya apabila ingin menikah kembali.
Proses
perceraian memang cukup sederhana, namun pembagian aset menjadi masalah yang
rumit. Mantan istri berhak mengambil barang apapun untuk menjadi miliknya,
seperti pakaian, perhiasan, dsb. Para perempuan akan mempertahankan asetnya
yang dimiliki sebelum menikah seperti tanah, bangunan, budak, dsb sehingga
tidak akan dapat dibagi dengan mantan suaminya. Jika perempuan tersebut
sebelumnya tidak memiliki harta, maka mantan suami harus tetap memberikan
nafkah sampai mantan istrinya itu menikah kembali.
Terdapat
kontrak pernikahan dalam tradisi masyarakat Mesir Kuno. Pada masa Dinasti ke-21
yang berlangsung selama 1.000 tahun akan ada perjanjian pra pernikahan apabila
ada seorang yang sangat kaya menikah dengan orang miskin. Terdapat dua jenis
kontrak pernikahan. Pertama, pria
memberikan sejumlah uang kepada keluarga pengantin perempuan. Ini bertujuan
sebagai “uang kompesasi” karena sang ayah perempuan akan kehilangan tenaga anak
gadisnya. Uang diberikan sebagai tanda bahwa sang pria serius ingin menikah
sang perempuan. Uang tersebut merupakan bukti perjanjian kesepakatan kedua
belah pihak. Nilai uang yang diberikan beragam, mulai dari terendah yaitu setengah
deben tembaga (setara dengan seperempat biaya sepasang sandal) sampai yang
tertinggi yaitu 2 perak deben (setara dengan harga seorang budak perempuan).
Kedua,
disebut token, yaitu memberikan berbagai barang atau peralatan kepada keluarga
pengantin perempuan. Masyarakat dari kelas sosial atas bisanya hanya
menggunakan perjanjian kontrak pertama. Dengan adanya perjanjian pernikahan
maka apabila seorang perempuan memutuskan untuk bercerai maka ia harus
mengembalikan uang perjanjian itu ditambah denda.
Apabila
seorang pria meninggal dunia, maka ahli waris wajib memberikan penguburan yang
sesuai. Sedangka propertinya akan dibagi sesuai hukum, yaitu:
1. Istri menerima
sepertiga dari harta suaminya.
2. Jika sang istri
meninggal, maka sepertiga harta tersebut akan dibagi untuk anak-anak dari
suaminya itu
3. Jika tidak maka
suami dan istri sepakat bahwa harta dibagikan untuk anak-anak atau untuk orang
lain.
Aturan
pernikahan bangsa Mesir kuno berdasarkan aturan sosial dan ekonomi dalam
masyarakat, bukan hukum negara. Seorang perempuan memerlukan izin untuk menikah
dari orangtuannya hingga Dinasti ke-26. Sementara pada seperempat periode
Ptolemaic pernikahan diantara saudara kandung merupakan sesuatu yang legal.
Secara garis besar, ciri pernikahan bangsa Mesir Kuno adalah sebagai berikutL
1. Pernikahan yang
monogami.
2. Orang-orang
menikah sesuai kelas sosial mereka. Kecuali dalam Periode Ptolemaic mereka
menikah dengan sesama keluarga mereka.
3. Pria dan perempuan
mempertahankan kepemilikan terpisah dari setiap harta yang mereka bawa saat pernikahan.
4. Jika salah satu
pihak memulai bercerai. Tidak perlu ada alasan.
5. Seorang istri pada
umumnya berhak akan sepertiga dari harta suaminya ketika ia meninggal. Di luar
itu, pria dan perempuan umumnya akan membagi harta mereka untuk anak-anaknya
Sumber:
ConversionConversion EmoticonEmoticon