Indonesia telah dikenal
sebagai negara maritim yang terkemuka di dunia. Pemahaman ini dapat diartikan
karena memang wilayah Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan dan
kumpulan lautan. Menurut data dari UNCLOS 1982, total luas wilayah laut
Indonesia sekitar 3.544.743,9 km²,
lebih luas dari wilayah daratan yang
hanya sekitar 1.910.931,32 km². Dengan demkian maka tiga perempat dari keseluruhan
wilayah Indonesia adalah lautan. Daratan di Indonesia memiliki tanah subur yang
sangat cocok untuk pertanian dan perkebunan, sementara laut kita memyimpan
berbagai kekayaan alam yang sangat besar. Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan
alam laut Indonesia dapat digunakan untuk sumber pangan, pertambangan, potensi energi,
pariwisata atau rekreasi, bahan baku obat-obatan, sumber air bersih, konservasi
alam, dan sebagainya. Semua manfaat tersebut akan dapat mendorong pembangunan
ekonomi di Indonesia.
Lautan yang luas,
banyaknya pulau, serta beriklim tropis membuat negara ini memiliki panorama
alam laut yang luar biasa indahnya, sehingga Indonesia pantas dijadikan sebagai
pusat pariwisata bahari dunia. Beberapa contoh derah di Indonesia yang terkenal
dengan wisata baharinya yaitu Taman Laut Bunaken di Manado, Kepulauan Raja
Ampat di Papua, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, pantai barat Sumatera, Pulau Weh
di Aceh, Natuna di Kepulauan Riau, Flores, dan sebagainya.
Menurut Undang-undang
No. 12 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengertian wisata bahari adalah usaha
yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan
prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut,
pantai, sungai, dan danau. Sementara kawasan pesisir adalah wilayah pesisir
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria
tertentu seperti karakter fisik, biologi, sosiologi, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya. Kawasan bahari adalah jenis pariwisata alternatif
yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut maupun kegiatan
yang dilakukan di bawah permukaan laut. Rencana pengembangan kawasan bahari
harus mempunyai keterkaitan dengan berbagai kepentingan yang mendasar, yaitu
pemberdayaan masyarakat pesisir yaang adalah masyarakat atau komunitas yang
tinggal di wilayah sekitar garis pantai. Masyarakat pesisir ini memiliki
pengetahuan tentang kondisi wilayahnya.
Kepulauan Karimunjawa
secara administratif merupakan bagian dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Secara
geografi, Kepulauan ini terletak di laut Jawa. Kepulauan Karimunjawa terdiri
dari gugusan 27 pulau yang menarik sebagai kunjungan wisata terutama wisata
bahari. Wilayah Kepulauan Karimunjawa dikelilingi oleh Laut Jawa dan jarak dari
kecamatan Kerimunjawa ke ibukota Kabupaten Jepara yaitu 90 km. Sebagai sebuah
kecamatan, Karimunjawa dibagi ke dalam empat desa yaitu, Karimunjawa, Kemojan,
Parang, dan Nyamuk. Total luas wilayah Kecamatan Karimunjawa yaitu 107.225 ha,
yang terdiri dari 100.105 ha lautan dan 7.120 ha daratan. Jadi 93 % wilayahnya
adalah lautan. Berdasarkan Laporan Badan
Pusat Statistik Kabupaten Jepara tahun 2014, jumlah penduduk yang mendiami
Kecamatan Karimunjawa sebesar 9.016 jiwa pada tahun 2013. Mayoritas penduduk
mendiami desa atau pulau Karimunjawa.
Pemanfaatan potensi
sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, seperti halnya pariwisata bahari
selama ini telah membuka peluang lapangan pekerjaan penduduk Kepulauan
Karimunjawa. Kegiatan pariwisata bahari di Karimunjawa dengan memanfaatkan
potensi sumberdaya laut dapat dipadukan dengan kegiatan sektor lain seperti
sektor kehutanan, perikanan, transportasi, pemukiman, budaya atau tradisi,
industri kerajinan atau souvenir, kuliner, dan perkebunan kelapa. Secara resmi,
kegiatan pengembangan pariwisata Kepulauan Karimunjawa terdapat dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 161/Men- Hut-II/1998. Dalam surat keputusan
tersebut seluruh wilayah Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Taman
Laut Nasional, sehingga kepulauan ini juga dijadikan wilayah konservasi.
Kepulauan Karimunjawa
tidak hanya memiliki panorama alam yang memukau, namun terdapat juga ragam adat
budaya yang memarik. Salah satu hal yang menarik dari Karimunjawa adalah bahwa
wilayah ini tidak hanya didiami oleh suku Jawa, tetapi juga suku lain yaitu suku
Bugis, Madura, Buton, Batak, dan sebagainya. Pertemuan suku besar ini telah
membuat perpaduan yang unik dalam tradisi budaya masyarakat Karimunjawa. Keanekaragaman
suku yang mendiami kepulauan ini merupakan aset yang dapat digunakan untuk
objek wisata budaya.
Kedatangan Suku Bugis
dari Sulawesi Selatan ke Karimunjawa, karena memang pada awalnya nenek moyang
suku Bugis adalah pelaut ulung. Dalam pelayaraanya, mereka yang awalnya hanya
singga di Karimunjawa menjadi menetap di kepulauan ini. Meskipun demikian
mereka tetap mempertahkan kebudayaan, tradisi, dan adat istiadat suku Bugis. Kehidupan suku Bugis tidak pernah lepas dari
budaya bahari. Secara turun menurun, generasi suku bugis di Kepulauan ini berprofesi sebagai nelayan.
Mengikuti arus perkembangan zaman, mulai berpindah profesi sebagai petani
rumput laut. Selain itu mereka juga mulai membuka hutan-hutan di Pulau Kemojan
untuk dapat dijadikan lahan perkebunan dan sawah.
Salah satu kebudayaan
suku Bugis di Karimunjawa yang masih dipertahankan adalah cara membuat rumah.
Mereka membuat rumah dengan model rumah panggung yang merupakan rumah adat.
Meskipun sebagian besar suku Bugis ada tinggal di Pulau Kemojan, agar dapat
melihat deretan rumah panggung suku Bugis hanya dapat diilihat di dusun Batulawang.
Oleh masyarakat setempat, perkampungan suku Bugis ini disebut Kampung Anak Ogik. Rumah panggung di Batulawang
dibangun lumayan pendek, tidak setinggi rumah panggung suku Bugis yang ada di
Sulawesi. Ini disebabkan karena suku Bugis kesulitan mendapatkan kayu. Meskipun
tidak mirip seratus persen, rumah panggung di Batulawang tetap menarik.
Terdapat tangga yang ada di depan atau di samping rumah. Terdapat peraturan
yang mewajibkan mencuci kaki sebelum menaiki tangga. Oleh sebab itu, di samping
tangga ditaruh ember yang berisi air. Setiap rumah panggung ini memiliki teras
yang luas. Bagian bawah rumah panggung digunakan pemiliknya sebagai gudang atau
garasi untuk memparkir motor. Selain rumah panggung, suku Bugis juga masih
mempertahankan tradisi menenun sarung dan tradisi kuliner.
Berwisata ke kampung
suku Bugis tidak hanya sekadar memanjakan mata tetapi juga lidah. Bagi pecinta
makanan, budaya suku Bugis yang tertuang dalam kuliner juga memikat untuk
dijelajahi. Ragam kuliner khas suku Bugis biasanya dapat dinikmati saat
tertentu pada acara tradisional, yaitu perkawinan, acara keagamaan, dan
sebagainya. Seperti pada Tradisi Lomban yang diadakan 7 hari setelah hari raja
Idul Fitri. Awalnya dalam tradisi ini akan diisi tarian pencak silat dan
sambung ayam, tetapi sekarang diganti dengan acara Slamatan yang akan
menyajikan berbagai kue khas suku Bugis.
Beberapa contoh kue
khas suku Bugis antara lain roti pasau
yaitu semacam roti tawar yang terbuat dari tepung, kemudian dikukus dan dicetak
menggunakan daun pisang. Cara menyajikan kue ini dengan menuangkan air gula
atau air sirup ke setiap irisan kue. Rasanya
manis sekali. Biasanya kue ini disajikan pada acara hajatan atau saat bulan
Ramadhan. Adapula kue putrid sahe
yang terbuat dari ketan ditumbuk hingga halus, setelah itu dibuat menjadi kue.
Selain itu ada pula kue khas suku Bugis yang memiliki nama cukup unik, yaitu
kue jatuh bangun. Berbahan dari
adonan tepung terigu dan telur yang kemudian dikukus, baru setelah itu
dituangkan ke dalam cetakan yang terlebih dahulu dilumuri dengan pasta cokelat,
gula jawa, serta santan. Kue ini lalu dikukus kembali dan setelah matang kue
ini dikeluarkan dari cetakan dengan cara dibalik dan disentakkan. Oleh sebab
itu panganan ini diberi nama kue jatuh
bangun. Bentuk kue ini tidak berbeda jauh dari kue spon, yang membedakan
adalah rasanya dan proses memasak.
Dalam kesehariannya suku
Bugis beserta seluruh penduduk Karimunjawa senang untuk mengkomsumsi seafood. Ketersediaan bahan pangan dari
laut yang melimpah lebih mudah didapatkan daripada daging hewan seperti sapi. Selain
yang telah disebutkan, masih banyak variasi kuliner suku Bugis yang ada di
Karimunjawa. Meskipun tidak asli berasal dari Karimunjawa tetapi, masyarakat
suku Bugis membuat kuliner tersebut menyesuaikan dengan cita rasa penduduk
setempat dan ketersediaan bahan baku. Satu hal yang pasti bahwa kuliner suku
Bugis tersebut memiliki cerita dan makna yang pantas untuk dilestarikan.
Diaspora yang dilakukan
suku Bugis, telah membawa suku pelaut ini berpencar di seluruh Nusantara. Di
daerah baru, mereka membentuk komunitasnya. Perkampungan suku Bugis di Pulau
Kemojan memiliki keunikan tersendiri. Di tempat ini suku Bugis masih tetap
mempertahankan tradisinya dan berusaha semirip mungkin bergaya hidup seperti
dari daerah asli mereka. Dalam berkomunikasi mereka juga masih menggunakan
bahasa daerah mereka serta berbahasa Jawa dan Indonesia. Kerukunan yang
terjalin ini dapat memberikan contoh positif.
Dalam bidang
pariwisata, perkampungan suku Bugis di Pulau Kemojan telah menjadi potensi
untuk dapat menarik wisatawan. Berlibur di Pulau Kemojan tidak hanya dapat
menikmati keindahan alamnya tetapi juga memberikan pengalaman budaya, terutama
tradisi kemaritiman yang didapatkan di perkampungan suku Bugis ini. Wisatawan
akan dapat menyaksikan bagaimana kehidupan sehari-hari suku laut ini di Pulau
Kemojan yang masih termasuk dalam wilayah Jawa Tengah. Keunikan ini membuat
kampung Anak Ogik memang pantas
disebut sebagai magnet Pulau Kemojan-Karimunjawa.
Esai ini ditulis oleh Retnaningtyas Dwi
Hapsari untuk diikutsertakan lomba menulis dalam rangka menyambut Hari Pers
Nasional (HPN) Tahun 2016, yang diselengarakan oleh Kementrian Pariwisata
Republik Indonesia.
ConversionConversion EmoticonEmoticon